Pernahkah kita mendengar kisah Ashabul Kahfi? Mengenai Para
pemuda yang teguh mempertahankan imannya dihadapan raja yang dzalim. Mereka pergi
ke dalam gua demi menghindari kejaran raja dan pasukannya hingga tertidur di
dalamnya selama bertahun-tahun. (QS:Alkahfi: ayat 9-26). Atau kisahnya Ashabul
Ukhdud dalam QS Al-buruj, tatkala ada Raja yang mendewakan dirinya memaksa orang
yang beriman agar menyembahnya. Tetapi orang-orang beriman tersebut menolaknya
dan memilih bertahan dengan keyakinannya. Akhirnya mereka dibunuh dengan cara
dibakar hidup-hidup di dalam parit. Atau kisahnya para budak muslim seperti Bilal
bin Rabbah dan keluarga Ammar di masa awal perkembangan islam. Mereka menerima
siksaan yang sangat berat dari para majikannya yang kafir. Meskipun demikian,
mereka tetap teguh dengan keimanannya, bahkan ibunda Ammar (Sumayyah) sampai
meninggal dunia dan menjadi perempuan pertama yang syahid.
Sebenarnya masih banyak kisah tentang para mu’min dengan
ketebalan iman seperti diatas. Orang-orang itu telah memahami makna iman yang sebenarnya. Iman telah melekat kedalam hati mereka,
tidak hanya sebatas pengakuan status sosial. Sehingga tercermin dalam perilaku
mereka, dimana tidak ada rasa takut dan khawatir sama sekali
dengan siksaan yang dialaminya.
Sebenarnya apakah makna iman bagi seorang muslim. Apakah dengan mengucap 2 kalimat syahadat sudah cukup untuk dikatakan
beriman. Jika demikian, mengapa terjadi ketimpangan yang signifikan jika melihat
keimanan mayoritas muslim saat ini dibandingkan dengan para muslim di zaman
sahabat. Padahal keduanya sama-sama mengucapkan 2 kalimat syahadat sebagai bukti keimanannya.
Dapat diakui bahwa generasi para sahabat adalah generasi terbaik seperti dalam sabda nabi “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari Muslim). Tidak perlu diragukan lagi bagaimana ketaatan para sahabat dalam menjalankan shalat sunnah, puasa sunnah, berinfaq, ataupun kesabarannya dalam menghadapi cobaan berat yang menimpanya. Sedangkan orang muslim saat ini banyak yang mengaku beriman tetapi mereka masih sering berteriak-teriak ketika kuota internet habis, motornya kesenggol bajaj, atau ketika sandal kesayangannya hilang di masjid.
Dapat diakui bahwa generasi para sahabat adalah generasi terbaik seperti dalam sabda nabi “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya” (HR. Bukhari Muslim). Tidak perlu diragukan lagi bagaimana ketaatan para sahabat dalam menjalankan shalat sunnah, puasa sunnah, berinfaq, ataupun kesabarannya dalam menghadapi cobaan berat yang menimpanya. Sedangkan orang muslim saat ini banyak yang mengaku beriman tetapi mereka masih sering berteriak-teriak ketika kuota internet habis, motornya kesenggol bajaj, atau ketika sandal kesayangannya hilang di masjid.
Dalam QS Alhujarat:14 disebutkan bahwa terdapat orang arab
badui yang mengaku telah beriman. Padahal sebenarnya mereka hanya sebatas berislam,
karena iman belum masuk ke hati mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keimanan
seseorang harus selaras dengan sikap dan perilakunya. Keimanan tidak hanya
diyakini dalam hati dan diucapkan secara lisan. Tetapi perilaku orangnya juga
harus mencerminkan nilai-nilai keimanan sebagaimana yang telah diajarkan Allah
dan Rasulullah.
Secara bahasa, iman bermakna yakin atau percaya. Meyakini
dalam hati terhadap segala informasi yang sumbernya dari Allah dan Rasul. Keyakinan
itu menyangkut segala informasi, baik yang dapat diterima oleh akal maupun tidak.
Misalnya terkait surga, neraka, hari kiamat, hari kebangkitan dan kejadian luar
biasa lainnya seperti disebutkan dalam alqur’an. Dalam konteks ini bukan
ranahnya akal untuk dapat menerima informasi tersebut, tetapi ranahnya kayakinan
dalam hati.
Setelah diyakini dalam hati, kemudian diucapkan dengan lisan.
Karena banyak orang kafir Quraisy di zaman Nabi yang sebenarnya mereka percaya
dengan kebenaran ayat-ayat alqur’an. Tetapi karena keangkuhan mereka sehingga
membuat mereka tidak mau mengakui secara lisan terhadap isi hati mereka. Begitu
juga dengan kisahnya Fir’aun, dia meyakini kebenaran yang disampaikan nabi
Musa, namun kesombongan telah membutakan hatinya.
Tidak cukup hanya dengan 2 kriteria itu saja, iman juga harus
direalisasikan dalam sebuah tindakan. Orang yang beriman harus melaksanakan semua
perintah Allah dan menjauhi larangannya. Di dalam alqur’an, sebagian besar kata
iman selalu disandingkan dengan “amilu assholihah” (perbuatan baik). Hal ini
menunjukkan keharusan untuk menyertakan perbutan baik dalam keimanan seseorang,
karena perbuatan baik adalah buah dari keimanan. Allah akan memberikan ganjaran
yang besar terhadap orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
Mayoritas ulama mengatakan keimanan seseorang itu fluktuatif,
kadang naik dan kadang turun. Keimanan dapat bertambah karena melakukan
ketaatan dan dapat berkurang karena melakukan kemaksiatan. Selain dalam hal
ibadah mahdoh, banyak contoh cerminan perilaku keimanan seseorang seperti yang
telah diajarkan oleh Nabi, misalnya: mencintai saudaranya sebagaimana mencintai
dirinya, memuliakan tetangganya, berkata baik atau diam, menyingkirkan sesuatu
dari jalan, dan sifat malu juga termasuk salah satu bagian dari cermin keimanan.
Memang kehidupan kita saat ini sangat berbeda dengan kondisi
di awal dakwah islam. Cobaan keimanan yang kita alami tidak seberat yang
dialami Bilal bin Rabbah, Ammar bin Yaser, dan Sumayyah. Hal itu justru membuat
kita menjadi lalai sehingga kondisi kita hampir sama seperti orang arab badui
yang hanya memiliki status muslim, namun belum mu'min. Karena
secara tidak sadar kita telah mempertuhankan pekerjaan, uang, dan gadget yang
selalu melekat di hati kita dan mengabaikan Allah tuhan yang maha esa. Kadang
kita terlalu sibuk bermain game sehingga mengabaikan panggilan Tuhan atau lebih
memilih membeli Iphone XI daripada menginfakan hartanya. Oleh karena itu, kita harus menyeimbangkan
antara hal-hal yang sifatnya duniawi dengan ukhrowi.
Seseorang yang memiliki iman dalam hatinya juga tidak akan
merasa gelisah menghadapi problematika hidup, karena dia percaya dengan Sifat
keagungan Allah. Ketika merasa sulit mendapat sesuap nasi, dia percaya bahwa
Allah Ar-Razzaq (maha pemberi rizki), ketika banyak konflik dengan mitra kerja, dia
percaya bahwa ada Al-Hadi (maha pemberi petunjuk), ketika cintanya bertepuk sebelah tangan, dia percaya bahwa Allah Ar-Rahman (maha penyayang) atau ketika ada ancaman menakutkan
dari virus, dia percaya ada Al-Waliyy (maha pelindung). Setidakya itu sebagai bekal
awal untuk melakukan ikhtiar, karena ketika hati tenang, ia akan mampu berpikir
jernih dan bertindak dengan bijak.
Marilah selalu kita tingkatkan kualitas keimanan
kita dengan melakukan amal shaleh. Jangan sampai kemaksiatan-kemaksiatan
mengikis keimanan kita. Selalu pergunakan kacamata iman dalam memandang setiap masalah.
Semoga Allah selalu menjaga agar iman selalu melekat dalam diri kita semua. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar